Rabu, 15 Oktober 2014

MAKALAH


TugasKelompok                                                         Dosen Pembimbing:
BK Keluarga                                                        M. Fahli Zatrahadi, MPd  

PROBLEM DAN PENDIDIKAN DALAM KELUARGA


Disusun Oleh: Kelompok IX
Anrila
Mentari
Suriyati

JURUSAN BIMBINGAN KONSELING ISLAM
FAKULTAS DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU
PEKNBARU/2014


 
BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Untuk membentuk keluarga yang harmonis dan terciptanya keserasian suami dan isteri harus ada beberapa unsur yang harus dipenuhi. Selanjutnya tentang dampak perceraian terhadap anak itu ada yang positif dan ada juga yang negatif, kesemua dampak ini akan berujung pada perjuangan masa depan anak.
Revolusi peran ayah digambarkan dalam bentuk peran ayah mengantikan peran ibu, diamana ayah lebih berperan primer dalam megasuh anak, dan ibu adalah wanita karier. Untuk lebih jelasnya penulis jabarkan didalam isi makalah.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana cara dan upaya menciptakan keserasian suami dan isteri?
2.      Apa dampak perceraian terhadap anak?
3.      Bagaiamana peran revolusi ayah dalam mengasuh anak?






BAB II
PEMBAHASAN
PROBLEM DAN PENDIDIKAN DALAM KELUARGA

A.    Membina Keserasian Suami Isteri
Keutuhan dan keserasian keluarga akan tercapai jika suami dan isteri  melakukan peran mereka masing-masing dan secara bersama dalam membina kesejahteraan keluarga sesuai dengan tuntutan-tuntutan masa kini dengan menjaga keserasian hubungan antar anggota keluarga dan keserasian perkembangan kepribadian setiap anggota keluarga.
Yang menentukan keserasian hubungan suami istri ialah adanya saling penyesuaian diri, saling pengertian, saling tenggang rasa, saling menghargai, saling bertanggung jawab dan saling bantu membantu serta pengakuan dari kedua belah pihak bahwa masing-masing berhak atas perwujudan diri pribadi sebagai kebutuhan pokok manusia pada tingkat tertinggi. Berbagai sikap suami dan isteri terhadap perannya sebagai orang tua antara lain ditentukan oleh motivasi untuk menjadi orang tua.

B.     Perceraian dan Dampaknya Pada Anak
Kasus perceraian sering dianggap suatu peristiwa tersendiri yang menegangkan dalam kehidupan keluarga. Peristiwa percerian dalam keluarga ini tentu saja membawa dampak yang mendalam. Kasus ini dapat menimbulkan stress, tekanan, dan menimbulkan perubahan fisik dan mental.[1] Keadaan seperti ini dialami oleh semua anggota keluarga, ayah, ibu dan juga anak.
Perceraian dalam keluarga biasanya berawal dari suatu konflik antara anggota keluarga. Banyak factor yang menyebabkan terjadinya kasus pertikaian dalam keluarga yang berakhir dengan perceraian. Faktor-faktor ini antara lain, persoalan ekonomi, perbedaan usia yang besar, kininan memperoleh putra (putri), dan persoalan prinsip hidup yang berbeda. Faktor lainya berupa perbedaab penekanan dan cara mendidik anak, juga pengaruh dukungan sosial dari pihak luar, tetangga, sanak saudara, sahabat, dan situasi masyarakat yang terkondisi, dan lain-lain. Semua faktor ini yang pada akhirnya menimbulkan suasana keruh dan meruntuhkan kehidupan rumah tangga.
  1. Perceraian dan Pegaruhnya Terhadap Perkembangan Anak, Hetherington mengadakan penelitian terhadap anak-anak usia 4 tahun pada saat kedua orang tuanya bercerai. Peneliti ini ingin menyelidiki apakah kasus perceraian akan membawa pengaruh bagi anak usia dibawah 4 tahun dan diatas 4 tahun. Hasilnya menunjukkan bahwa kasus perceraian itu akan membawa trauma pada setiap tingkat usia anak, meski dengan kadar yang berbeda. Setiap tingkat usia anak dalam menyesuaikan diri dengan situasi baru ini memperlihatkan cara dan penyelesaian berbeda. Kelompok anak yang belum berusia sekolah pada saat kasus ini terjadi ada kecendrungan untuk mempermasalahakan diri bila ia menghadapi masalah dalam hiddupnya. Ia menguasai dirinya. Umumnya anak usia kecil tu sering tidak betah, tidak menerima cara hidup yang baru, ia tidak akrab dengan orang tuanya. Anak ini sering dibayangi rasa cemas, selalu ingin mencari ketenangan. Kelompok anak yang sudah menginjak usia besar pada saat terjadinya kasus perceraian memberi reaksi lain. Kelompok anak ini tidak lagi menyalahakan diri sendiri, tetapi memiliki sedikit perasaan takut karena perubahan situasi keluarga dan merasa cemas karena ditinggalkan salah satu orang tuanya. Ketika anak menginjak usia remaja, anak sudah mulai memahami seluk beluk arti perceraian. Mereka memahami, apa akibat yang terjadi dari peristiwa itu. Mereka menyadarai masalah-masalah yang akan muncul, soal ekonom, social, dan faktor lainya. Juth Wallerstin dan Jhon Kelly meneliti 60 keluarga yang mengalami kasus perceraian di Kalifornia. Peneliti mengemukakan bahwa anak usia belum sekolah mengalamai kesulitan dalam menyesuaikan diri menghadapi situasi yang baru. Sementara anak usia remaja dilaporkan mereka mengalami trauma yang mendalam.[2] Beberapa diantara anak usia remaja dalam mengahadapi situasi perceraian memahami sediki akibat yang bakal terjadi. Hetherington mengungkapkan “Jika perceraian dalam keluarga itu terajadi saaat anak menginjak usi remaja, mereka akan mencari ketenangan, entah ditetanga, sahabat, atau teman sekolah”. 
  2.   Bila Anak di Bawah Asuhan Ibu. Heterigon dan koleganya  melakukan penelitian terhadap pengaruh yang akan timbul bila seorang anak berada dibawah asuhan ibu setelah perceraian. Mereka meneliti, apakah pengaruh yang akan timbul dan bagaimanakah fungsi keluarga baru itu dalam menghadapi situasi seperti ini. Heterigon meneliti 96 keluarga selama dua tahun. Penelitian dilakukan dalam tiga tahap. Pertama, setelah dua bulan perceraian; kedua, setelah satu tahu; dan ketiga, setelah dua tahun. Dalam penelitian ini, Heterington berusaha menjawab teka-teki yang berkaitan dengan kasus perceraian. Hasilnya, peristiwa perceraian itu membawa dampak pada kehidupan ayah, ibu dan anak. Perceraian itu setidknya dapat menimbulkan kekacauan jiwa meski mungkin tidak terlalu jauh. Pera keluarga yang dibebankan kepada satu orang saja akan terasa sulit.  Kasus perceraian membawa akibat yang sangat mendalam. Peristiwa ini menyebabkan ibu atau ayah menjadi kurang mampu mengatasai kehidupan anaknya sehari-hari. Akibat yang lain, muncul serentetan kasus seperti tindakan-tindakan yang semestinya tidak perlu terjadi. Misalnya, soal makan sudah dianggap “ sepele”. Makan tidak pada waktunya, tidak teratur, atau anak sering terlambat kesekolah. Dalam kasus perceraian, anak-anak yang berada dibawah asuhan ibu akan lebih mengalami kesulitan konkret dalam menangani anak-anaknya. Sementara bagi ayah, ia mengalami kesulitan dalam taraf berfikir, merenungi dirinya bagaimana menghadapi situasi ini. Menurt Hetherington, peristiwa perceraian itu menimbulka ketidakstabilan emosi, mengalami rasa cemas, tertekan, dan sering marah-marah. Dalam menghadapi kemelut ini, pihak ibulah yang paling pahit merasakannya, Mereka merasa tertekan lebih berat dan pengaruhnya lebih lama. Ketika kasus perceraian terjadi, teryata cara ayah dan ibu mengasuh anaknya berbeda. Misalnya dalam memberikan perhatian, keramahan, dan kebebasan kepada anak-anak.[3] Namun perbedaan ini tidaklah aneh karena dalam keluarga utuh pun cara ibu dan ayah mengasuh anak berbeda. Biasanya seorang ibu akan kurang memperlihtakan kasih sayag kepada anak-anaknya, khusunya terhadap anak laki-laki, suatu sikap yang berbeda dengan sebelum perceraian, ibu ini meperlakukan putranya lebih keras. Ayah lain lagi, Ia malah cenderung  bersikap ramah, taw aria, dan memberikan kebebasan kepada anak-anaknya. Mulai muncul dalam diri sang ayah tertarik terhadap anaknya. Hetherington mengamati perilaku bermain anak-anak dari kelompok keluarga cerai dan utuh, baik didalam kelas dan ditempat bermain. Diperoleh keterangan, ternyata anak laki-laki itu lebih dipengaruhi oleh peristiwa perceraian dalam keluarga. Tampak jelas dari perubahan sikap. Setelah dua bulan peristiwa percerain berlalu, mereka tampak menjadi kurang imajinatif dan daya kreatif berkurang. Kedaaan ini sangat berbeda dengan anak-anak dari keluarga utuh yang tetap memperlihatkan kegairahan dan semangat. Anak-anak dari keluarga retak berubah menjadi canggung menghadapi realitas sebenarnya. Kadang-kadang mereka mulai berfantasi yag tinggi-tinggi, menerawang jauh, dan tidak lagi menerima kenyataan. Jhon Singer mengatakan, kemahiran berfantasi pada saat bermain sangat penting. Daya imajinasi pada saat bermain dapat dianggap sebagai faktor besar yang mempengaruhi perkembangan kognitif anak, perasaan dan perkembangan social.[4] 
  3. Bila anak dibawah asuhan ayah. Pada dasarnya tugas mendidikdan mengasuh anak merupakan kewajiban istri (ibu). Pandangan lama menganggap ibu itu tokoh yang lebih dekat dengan anak dari segi psikologis dan biologis. Pandangan ini muncul karena dalam kehidupan sehari-hari ibu lebih dekat dan lebih mengerti akan kehidupan anak. Pada tahun 1970-an di Amerika, pandangan yang menekankan anak dibebankan pada ibu pelan-pelan mulai berubah sehingga lahirlah undang-undang yang mengatur persoalan. Dalam kasus perceraian, ayah dan ibu memililki peranan yang sama dan mempunyai kemampuan untuk mengasuh anak. Pada abad modern ini muncul kecendrungan yang kuat pada seorang ayah untuk memilih mengasuh anak pada kasus perceraian yang pada keluarga si ibu bekerja diluar rumah,dan menolak mengasuh anak. Ayah yang berani mengasuh anak adalah kelompok ayah yang sudah berpengalaman, usia relative tua, ekonomi berkecukupan dan mengenal aturan hukum. Meski demikian, sama seperti yang dialami ibu, ayah juga mengalami stress, tertekan dalam menjalankan dua tugas sekaligus mengasuh anak dan tugas-tugas lain. Perkembangan anak yang diasuh ayah, pada anak laki-laki menunjukkan adanya sikap yang menguntungkan. Anak laki-laki ini akan berkembang lebih matang dan interaksi sosialnya pun lebih baik. Ia juga lebih memperlihatkan kesadaran diri yang tinggi. Berbeda dari anak yang diasuh ibu. Sementara anak putri yang diasuh ibunya memperlihatkan segi positif. Sikap ketergantungan berkurang, ia lebih bebas dan berkembang lebih matang. Anak putri yang tinggal dengan ayahnya akan memperlihatkan suatu sikap yang kurang menguntungkan. Ia kurang memiliki sikap kerjasama, kurang jujur dan berbeda dengan sikap anak yang diasuh ibunya. Seorang ibu atau ayah tampak akan mengungkapkan cara hidup dan pengalaman yang berbeda dalam mengasuh anak. Ayah cendrung menggunakan bantuan luar yang ditawarkan, seperti uang, atau bantuan dari sanak saudara lain. 
  4.  Ayah Tiri. Ada satu peran baru yang muncul pada kaum pria sebagai akibat rentetan kasu perceraian dalam masyarakat, yaitu peran ayah tiri. Menurut Jessie Bernard, anak-anak yang masih berusia kecil cenderung lebih mudah menerima kehadiran ayah tirinya disbanding anak yang sudah menginjak usai remaja. Nichollahs Zill mengemukakan bahwa anak-anak yang hidup bersama ibu dan ayah tirinya maka akan menimbulkan berbagai masalah, seperti munculnya berbagai tuntutan. Walaupun demikian, bila orang tua kandung dan orang tua tiri dapat menciptakan situasi yang baik, maka akan tercipta kebahagiaan, dan hal itu tentu saja tidak semudah yang diduga.

C.    Revolusi Peran Ayah
  1. Jumlah Waktu Ayah. Beberapa tahun belakangan ini, perubahan peran ayah sepertinya sudah tampak jelas terutama di Amerika Serikat. Dinegara industri lain, gejala ini pun sudah menjadi hal biasa. Di Swedia pemerintah mengeluarkan peraturan yang mengizinkan semua kaum pria untuk meninggalkan pekerjaan pada waktu tertentu, pada saat isterinya bersalin. Seperti yang diungkapkan Maureen Green, “Bila tersedia waktu yang telah ditetapkan bagi seorang ayah muda, yang baru memiliki putera atau puteri, situasi dalam rumah menjadi gembira, lebih-lebih pada minggu pertama. Mereka menjadi kurang memperhatikan sekitarnya, hanya memperhatikan bayinya”. Fleksibelitas jam kerja seorang ayah dapat menyebabkan ia lebih banyak waktu bersama anaknya. Baru-baru ini ada laporan di Skandinavia, dari pabrik Volvo Swedia menunjukkan bahwa dengan adanya kelonggaran jam kerja, para buruh dimungkinkan untuk bekerja lebih efektif dan dapat membawa dampak positif bagi kedua pihak, buruh dan majikan. Tetapi, ada laporan lain bahwa kelonggaran jam kerja itu sama sekali tidak membawa perubahan dalam hubungan dengan anggota keluarga. Felksibelitas jam kerja dapat memunculkan hal-hal baru, antara lain dapat mempengaruhi hubungan ayah dan anak. David Maklan membandingkan pria yang bekerja 4 hari seminggu setiap harinya 10 jam,  5 hari seminggu dan setiap harinya 8 jam. Diperoleh hasil bahwa laki-laki yang bekerja 4 hari seminggu dan 10 jam sehari menghabiskan waktu 4 jam lebih setiap minggu untuk mengasuhanak dan tetap menjalankan tugas-tugas lain dirumah. 
  2.  Keluarga karier. Pada abad dua puluh ini di Negara maju, misalnya di Inggris hanya satu diantara 20 keluarga yang masih menyenagi pola peran tradisional, seperti sang suami bekerja dan siteri tinggal dirumah mengurusi keluarga dan mengasuh anak. Pada zaman ini ada pola pikiran pada kaum wanita bahwa keputusan memiliki anak dianggap sebagai salah satu penyebab adanya jurang karir wanita dan laki-laki. Sebagai refleksi dari pemikiran ini, sekarang ada kecendrungan pasangan keluarga muda ingin memperoleh anak setelah beberapa tahun bekerja. Bahkan ada sikap ekstrim pada segelintir wanita yang memutuskan untuk tidak melahirkan anak.[5] Kaum wanita karier biasanya menolak anggapan bahwa mereka menanggung berbagai beban berat karena merangkap dua beban sekaligus. Keterlibatan wanita dalam bidang pekerjaan bukan akibat faktor biologi atau kemajuan teknologi. Menurut bebrapa ahli, memang sudah kodratnya manusia itu berinisiatif untuk bekerja, Akn tetapi kita tidak pungkiri saat ini teknologi juga ikut berpengaruh pada kehidupan keluarga.
  3. Keluarga Nontradisional. Pada keluarga nontradisional sudah ada keyakinan yang kuat akan kemampuan seorang ayah dalam mengasuh anak. Perubahan cara hidup dizaman modern ini menimbulkan pula perubahan peran dalam keluarga. Ada pandangan bahwa seorang ayah yang primer dalam keluarga akan mempengaruhi perkembangana anak-anaknya. Ketika seorang ayah berperan primer dalam mengasuh anak , maka ada suatu kecendrunagan pada anak-anaknya. Anak-anak ini akan tumbuh dengan kemampuan diri yang lebih tinggi serta keyakinan diri yang lebih besar dan mampu menghadapi berbagai masalah.




BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Untuk membinan sebuah keserasian hubungan suami istri ialah adanya saling penyesuaian diri, saling pengertian, saling tenggang rasa, saling menghargai, saling bertanggung jawab dan saling bantu membantu serta pengakuan dari kedua belah pihak bahwa masing-masing berhak atas perwujudan diri pribadi sebagai kebutuhan pokok manusia pada tingkat tertinggi.
Perceraian memiliki dampak pada anak, baik dampak positif maupun dan dampak negatif. Meskipun begitu dampak negatif sangat terlihat jelas, Perceraian dapat berpengaruh pada perkembangan mental anak. Selain itu anak juga harus kembali menyesuaikan diri dalam kondisi dan keadaan yang baru, kemungkinan besar perceraian bisa berdampak pada masa depan anak.
Revolusi peran seorang ayah saat ini semakin banyak terjadi, terutama di negara-negara industry. Perubahan posisi pengasuhan anak membawa dampak yang baik juga buruk, disatu sisi mendekatkan anak dengan sang ayah. Namun disisi lain, ayah tidak dapat melakukan kewajiban utamanya sebagai kepala rumah tangga.











DAFTAR PUSTAKA

Cavanagh R, John, 1996, Fundamental Marriage Counseling A Catholic Viewpoint, Great Britain: The Mercier Press
Dagun M. Save, 1990, Psikologi Keluarga, Jakarta: PT Rineka Cipta
Lestari Sri, 2012, Psikologi Keluarga, Jakarta: Kencana Prenada Media Group
Nicholson John, Men and Woman How Different are They, New York: Oxford University Press












[1] Jhon R.Cavanagh, Fundamental marriage Counseling A Catholic Viewpoint, (Great Britain: The Mercier Press, 1966), hlm. 359
[2] Dagun M.Save, Psikologi Keluarga, (Jakarta: PT RINEKA CIPTA, 1990), hlm.115
[3] John Nicholoso, Men and Woman How different are They, (New York: Oxford University Press), hlm.12
[4] Dagun M.Save, Op.Cit, hlm.120

[5] John Nicholos, Op.Cit, hlm.129




Tidak ada komentar:

Posting Komentar